Rabu, 18 Mei 2011

Problem Solving Cycle

MODUL PERENCANAAN PROGRAM GIZI

Deskripsi Mata Kuliah
Mata Ajar / SKS        : Perencanaan Program Gizi/3 SKS (150 menit)
Semester/ Tahun ajaran    : 5/2010-2011
Nama Dosen            : Gusnedi, STP, MPH
Pokok Bahasan        : Pengelolaan Program Gizi Puskesmas
Standar Kompetensi     : Mahasiswa mampu mengelola program gizi masyarakat
Kompetensi Dasar    : Mahasiswa mampu menjelaskan tentang langkah-langkah pengelolaan program gizi dengan pendekatan problem solving cycle
Indikator             : 
1.Mampu menjelaskan proses identifikasi masalah gizi di wilayah puskesmas
  2. Bisa menjelaskan cara analisis masalah gizi
 3. Mampu menjelaskan proses penentuan kegiatan program gizi
 4. Mampu menjelaskan proses implementasi program
5.  Mampu menjelaskan  proses monitoring dan evaluasi program gizi
Metode            : Ceramah, tanya jawab dan praktik
Media                : Kmputer, LCD Protector
Kegiatan Pembelajaran termasuk evaluasi:
KEGIATAN BELAJAR 1
Siklus Pemecahan Masalah dalam Pengelolaan Program Gizi

Pengelolaan program perbaikan gizi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi program kesehatan, baik di tingkat makro maupun mikro. Pada tingkat mikro, program perbaikan gizi di puskesmas merupakan salah program dari 7 (tujuh) program dasar yang ada, yaitu Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Program Perbaikan Gizi, Program Kesehatan Lingkungan, Program Promosi Kesehatan, Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P), Program Pengobatan dan Program Spesifik Lokal. Berhasil tidaknya pelaksanaan ke tujuh program ini, semua tergantung dari pengelolaan atau penyelenggaraannya termasuk pengelolaan program perbaikan gizi.
Pengelolaan program gizi di Puskesmas, sebenarnya telah diatur oleh program gizi ditingkat Kabupaten (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota), namun demikian agar program perbaikan gizi di Kecamatan dapat langsung memberikan dampak pada tingkat kabupaten, seyogyanya harus di kelola dengan baik. Ada lima langkah yang harus di perhatikan dalam pengelolaan program perbaikan gizi pada tingkat puskesmas, yang dirumuskan dalam bentuk siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut:

Lima langkah pengelolaan program perbaikan gizi di Puskesmas pada dasarnya sama dengan langkah-langkah pada pedoman pengelolaann gizi yang dilakukan di Tingkat Kabupaten yang dikeluarkan Direktorat Bina Gizi Depkes RI, dimulai dari Langkah pertama yaitu Identifikasi Masalah, kemudian Langkah Kedua Analisis masalah. Langkah pertama dan kedua biasa dikenal dengan perencanaan (planning). Langkah Ketiga adalah Menentukan kegiatan perbaikan gizi, langkah ini biasa juga dikenal atau disebut juga dengan pengorganisasian (organising). Langkah Keempat adalah melaksanakan program perbaikan gizi, langkah ini disebut juga dengan Pelaksanaan (actuating). Dan yang terakhir adalah Langkah Kelima yaitu pantauan dan evaluasi, langkah ini disebut juga dengan (controlling anda evaluation).
Langkah Pertama: Identifikasi Masalah.
Dalan identifikasi masalah gizi, Langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah mempelajari data berupa angka atau keterangan-keterangan yang berhubungan dengan identifikasi masalah gizi. Kemudian melakukan validasi terhadap data yang tersedia, maksudnya melihat kembali data, apakah sudah sesuai dengan data yang seharusnya dikumpulkan dan dipelajari. Selanjutnya mempelajari besaran dan sebaran masalah gizi, membandingkan dengan ambang batas dan atau target program gizi, setelah itu rumuskan masalah gizi dengan menggunakan ukuran prevalensi dan atau cakupan.
Langkah Kedua : Analisis Masalah
Analisis masalah didasarkan pada Penelaahan hasil identifikasi dengan menganalisis faktor penyebab terjadinya masalah sebagaimana yang disebutkan diatas, tujuannya untuk dapat memahami masalah secara jelas dan spesifik serta terukur, sehingga mempermudah penentuan alternatif masalah. Caranya dapat dilakukan dengan Analisis Hubungan, Analisis Perbandingan, Analisis Kecenderungan dan lain-lain
Langkah Ketiga : Menentukan Kegiatan Perbaikan Gizi
Langkah ini didasarkan pada analisis masalah di kecamatan yang secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan upaya peningkatan status gizi masyarakat, langkah ketiga pengelolaan program perbaikan gizi ini dimulai dengan penetapan tujuan yaitu upaya-upaya penetapan kegiatan yang dapat mempercepat penanggulangan masalah gizi yang ada. Dalam menyusun tujuan di kenal dengan istilah ? SMART? yang singkatan dari Spesific (khusus), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Realistic (sesuai fakta real), Timebound ( ada waktu untuk mencapaianya). Contoh Menurunkan TGR anak SD dari 30 % menjadi 20 % di Kecamatan Endemik GAKI Berat selama 2 tahun 2010-2012.
Langkah Keempat: Melaksanakan program perbaikan gizi
Setelah kegiatan perbaikan gizi tersusun, kemudian dilakukan langkah-langkah yang terencana untuk setiap kegiatan. Jenis kegiatan yang akan dilakukan meliputi Advokasi, Sosialiasi, Capacity Buiding, Pemberdayaan Masyarakat dan keluarga, Penyiapan sarana dan prasarana, Penyuluhan Gizi dan Pelayanan Gizi di Puskesmas maupun di Posyandu.
Langkah Kelima : Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan Pemantauan yang baik selalu dimulai sejak langkah awal perencanaan dibuat sampai dengan suatu kegiatan telah selesai dilaksanakan, sedangkan evaluasi hanya melihat bagian-bagian tertentu dari kegiatan yang dilaksanakan.
PEMANTAUAN adalah Pengawasan secara periodik terhadap pelaksanaan kegiatan program perbaikan gizi dalam menentukan besarnya INPUT yang diberikan, PROSES yang berjalan maupun OUTPUT yang dicapai. Tujuannya untuk menindak lanjuti kegiatan program SELAMA pelaksanaan kegiatan, dilakukan untuk menjamin bahwa PROSES pelaksanaan sesusai Action Plan dan jadwal.
Kegiatan pemantauan dapat dilakukan melalui Sistem Pencatatan dan Pelaporan termasuk laporan khusus, Pelaksanaan Quality Assurance Pelayanan Gizi dan Unit pengaduan masyarakat. Hasil Kegiatan pemantauan kemudian dibuatkan lagi kegiatan-kegiatan Tindak lanjut pemantauan yang dilakukan melalui Umpan balik, Supervisi dan Bimbingan tehnis.
EVALUASI adalah Suatu proses untuk mengukur keterkaitan, efektivitas, efisiensi dan dampak suatu program, dilakukan dengan Tujuan Memperbaiki rancangan,Menentukan suatu bentuk kegiatan yang tepat, Memperoleh masukan untuk digunakan dalam PROSES perencanaan yang akan datang.

Laporan Riskesdas 2010

RINGKASAN EKSEKUTIF

Riskesdas 2010 merupakan kegiatan riset kesehatan berbasis masyarakat yang diarahkan untuk mengevaluasi pencapaian indikator Millenium Development Goals (MDGs) bidang kesehatan di tingkat nasional dan provinsi. Tujuan Riskesdas 2010 adalah mengumpulkan dan menganalisis data indikator MDG?s kesehatan dan faktor yang mempengaruhinya. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel adalah seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara random dalam dua tahap. Tahap pertama melakukan pemilihan Blok Sensus (BS) dan tahap kedua pemilihan Rumah tangga (ruta) sebanyak 25 ruta setiap BS. Besar sampel sebanyak 2800 BS, diantaranya 823 BS sebagai sampel biomedis (malaria dan TB). Sampel BS tersebut  tersebar di 33  dan 441 kabupaten/kota.
Data yang dikumpulkan meliputi keterangan ruta dan anggota ruta. Keterangan ruta meliputi identitas ruta, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran ruta. Keterangan individu meliputi identitas individu, penyakit menular, pengetahuan dan perilaku kesehatan, kesehatan anak, kesehatan ibu, cara KB, kehamilan dan pemeriksaan sesudah melahirkan, keguguran dan kehamilan yang tidak diinginkan, perilaku seksual, konsumsi makan dalam 24 jam kemarin. Pengukuran tinggi badan/panjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responde, dan pemeriksaan darah malaria dilakukan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT), sedangkan untuk TB paru dilakukan pemeriksaan dahak pagi dan sewaktu hanya pada kelompok umur 15 tahun ke atas.
Pengumpulan data dan entri data dilakukan oleh tenaga terlatih dengan kualifikasi minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten, kemudian melakukan pengiriman data secara elektronik kepada tim manajemen data pusat. 
Pengumpulan data di beberapa daerah telah mulai dilakukan sejak bulan Juni 2010 berakhir pada tanggal 8 Agustus 2010 untuk dilakukan pengolahan dan analisis. Pada tanggal tersebut sejumlah 2704 BS sampel yang terkumpul datanya atau sekitar 96.5% dari 2800 BS sampel siap untuk dianalisis.
Hasil analisis dapat dilaporkan sebagai berikut: Prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen diantaranya 4,9 persen yang gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Provinsi Sulut (10,6%). Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6 persen, dengan rentang 22,5 persen (DI Yogyakarta) sampai 58,4 persen (NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3 persen, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah adalah Bangka Belitung (7,6%)..
Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,6 persen penduduk mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2 persen anak usia sekolah, 54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu hamil mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal.  Sementara itu proporsi penduduk tertinggi dengan konsumsi <70% AKG adalah NTB (46,6%), dan  terendah adalah provinsi Bengkulu (23,7%).
Proporsi anak 12-23 bulan yang memperoleh imunisasi campak pada Riskesdas 2010 ini adalah sebesar 74,5 persen. Proporsi anak 12-23 bulan yang memperoleh imunisasi campak menurut provinsi yang terbaik adalah DI Yogyakarta (96,4%) dan terendah adalah Papua (47,4%).
Untuk kesehatan ibu, secara nasional 82,3 persen kelahiran sudah dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Tenaga kesehatan terlatih di wilayah perdesaan perlu lebih ditingkatkan agar kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan tidak jauh berbeda dengan kelompok penduduk perkotaan, demikian juga perhatian perlu dipusatkan pada penduduk miskin. Demikian pula halnya pada provinsi seperti Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat perlu mendapatkan perhatian agar proporsi perempuan usia reproduktif dapat lebih banyak mendapatkan pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan.
Pemanfaatan Polindes/Poskesdes sebagai tempat pelayanan terdekat ke masyarakat juga perlu ditingkatkan, karena hanya 1,5 persen yang memanfaatkan untuk persalinan. Walaupun secara nasional 59,4 persen perempuan usia reproduktif menggunakan fasilitas kesehatan untuk persalinan, akan tetapi di beberapa provinsi penggunaan fasilitas kesehatan untuk melahirkan masih sangat rendah, seperti 7,8 persen di Sulawesi Tenggara, 8 persen di Maluku Utara, atau 12,1 persen di Sulawesi Tengah.
Pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan sudah lebih baik, yaitu 84%. Akan tetapi masih ada 2,8 persen tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, dan 3,2 persen masih memeriksakan kehamilan ke dukun. Selain itu diketahui akses (K1) adalah 92,8% ibu hamil mengikuti pelayanan antenatal, akan tetapi hanya 61,3 persen selama kehamilan memeriksakan kehamilan minimal 4 kali (K4).
Penggunaan alat/cara KB diketahui hanya 53,9 persen pada perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun. Secara nasional masih ada 19% perempuan pernah kawin usia reproduktif yang tidak menggunakan alat/cara KB untuk mencegah/menunda kehamilan, dan 27,1 persen yang pernah ber KB akan tetapi sekarang tidak menggunakan. Disparitas menurut provinsi dapat diketahui dari yang terendah di Papua Barat (31,9%) dan tertinggi di Bali (64,3%).
Terpantau juga jenis penggunaan alat/cara KB yang masih dominan adalah dengan suntikan yaitu 31,1 persen. Kelompok penduduk di perdesaan cenderung lebih banyak menggunakan suntikan untuk pencegahan kehamilan dibanding perkotaan. Sebagian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan praktek (52,5%), dan hanya 12 persen di Puskesmas, serta 4,1 persen di Polindes/Poskesdes.
Pada kelompok penduduk yang tidak menggunakan alat/cara KB, terdeteksi secara nasional 14,0 persen sebenarnya mereka membutuhkan akan tetapi tidak terpenuhi (unmet need). Variasi antar provinsi, dijumpai cukup lebar dari yang tertinggi di Papua Barat (32,9%) dan terendah di Bali (8,7%).
Masalah lain yang perlu mendapat perhatian untuk mempercepat penurunan kematian ibu adalah mengupayakan penundaan perkawinan menjadi usia 20 tahun. Karena secara nasional persentase menikah pada usia di bawah 20 tahun masih cukup tinggi (46,4%).
Secara nasional prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS adalah 75,0 persen. Pada penduduk laki-laki meningkat 11 persen, sedangkan pada perempuan meningkat sebanyak 12 persen dibandingkan Riskesdas 2007. Prevalensi lebih tinggi pada penduduk belum kawin, di daerah perkotaan, pendidikan lebih tinggi, penduduk yang masih sekolah dan dengan pekerjaan sebagai pegawai atau wiraswasta, juga pada penduduk dengan status ekonomi lebih tinggi.Menurut provinsi rentangan berkisar 44,3-93,7 persen. Paling rendah di provinsi Gorontalo dan tertinggi di provinsi DI.Yogyakarta. Masih ada 21 provinsi berada dibawah rata-rata nasional. 
Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS secara nasional yaitu 18,5 persen. Menurut provinsi rentangan berkisar 8,4-35,8 persen. Paling rendah di provinsi Gorontalo dan tertinggi di provinsi Bali. Masih ada 21 provinsi berada dibawah rata-rata nasional.  .
Insiden Parasit Malaria (API) dalam satu tahun terakhir (2009-2010) berdasarkan hasil pemeriksaan darah malaria pada saat wawancara adalah 24 permil. Rentang API Nasional adalah antara 0,3 persen (Bali) dan 31,4 persen (Papua). Sebanyak 20 provinsi dan semuanya di luar Jawa-Bali mempunyai API diatas API Nasional. Dari hasil wawancara, penggunaan Artemisinin Combination based Therapy (ACT) di Indonesia hanya mencapai 49,1 persen, dan hanya 75,5 persen yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, serta 89,6 persen yang diminum dengan dosis lengkap. Khusus pada balita, penggunaan ACT lebih rendah yaitu  34,3 persen, 80,6 persen  yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, dan 83,4 persen yang diminum dengan dosis lengkap. Jadi penderita malaria semua kelompok umur yang mendapat pengobatan efektif adalah 33,6 persen, sedangkan pada balita hanya 21,9 persen. Dari hasil wawancara Riskesdas 2010, cakupan total kelambunisasi dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 26,1 persen, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 12,5 persen pada responden semua kelompok umur. Sedangkan cakupan kelambunisasi khusus pada balita dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 32,7 persen, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 16,0 persen.  
Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang  diagnosis tenaga kesehatan secara nasional sebesar 0.7 persen. Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi Papua (1,5%) dan terendah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DI Yogyakarta, dan Bali (0,3%). Proporsi pemanfaatan OAT DOTS pada Riskesdas 2010 (83,2%) lebih baik dibandingkan dengan cakupan DOTS yang dilaporkan oleh P2PL tahun 2008 (66,25%).
Proporsi rumahtangga yang menggunakan air perpipaan terlindung sebesar 16,14 persen, tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara (44,79%) dan terendah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (0,85%). Sedangkan sarana non perpipaan terlindung secara nasional adalah 56,69 persen, tertinggi di Provinsi Gorontalo (66,5%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (29,75%). Bila sarana perpipaan terlindung dan non perpipaan terlindung dijumlahkan, maka secara nasional terdapat 72,83 persen yang akses terhadap sumber air terlindung, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah 84,91 persen dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau (45,74%). Lebih lanjut dari hasil Riskesdas 2010 diketahui proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung dan berkelanjutan (layak) adalah 45,27 persen .
Akses penduduk atau rumahtangga terhadap fasilitas sanitasi layak sebesar 55,53 persen, paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%).